Jejak Khilafah di Sulawesi Membongkar Hubungan Politik & Spiritual yang Dilupakan part 2

by -3 views

Oleh: Nicko Pandawa

Tsaqofatuna.id Untuk membongkar jalinan politik dan spiritual antara Khilafah dan Sulawesi, saya memanfaatkan sumber primer dan sekunder yang mencatat sejarah Sulawesi dari awal abad ke-17 sampai awal abad ke-20. Mengenai sumber primer sejarah Sulawesi, hakikatnya, menilik perbendaharaan manuskrip dan archives (tempat penyimpanan dokumen) yang tertulis dalam aksara (sistem penulisan) Lontara’ adalah sangat penting. Namun, saya belum dapat membaca aksara tersebut sekaligus memahami bahasa Bugis-Makassar yang terkandung di dalamnya. Oleh itu, saya bergantung kepada sumber-sumber Lontara’ yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggeris atau Indonesia. Meski demikian, aspek internasional Sulawesi dengan Dunia Islam yang lebih luas ternyata sudah tercatat dalam sumber-sumber primer non-Lontara’, seperti sumber-sumber berbahasa Arab, Osmanlica (Turkiye Uthmani), Serang (Arab-Makassar), Jawi (Arab-Melayu), Pegon (Arab-Jawa), dan lain-lain.

Adapun sumber-sumber sekunder yang saya gunakan lebih banyak membahas sejarah Sulawesi Selatan. Hal ini kerana memang potongan pulau bahagian selatan inilah yang menjadi episentrum (epicentre) kekuasaan seluruh Sulawesi. Kecuali Buton, saya masih dalam kesulitan untuk mencari aspek internasionalisme Islam kesultanan-kesultanan di Sulawesi Tenggara, Tengah, Barat, Utara dan Gorontalo. Mudah-mudahan wilayah Sulawesi yang belum diteliti dalam tulisan ini dapat diteruskan oleh siapa pun yang ambil tahu akan sejarah Islam di negerinya.

Situasi Global dan Regional Menjelang Pengislaman Sulawesi

Nun jauh di seberang lautan Sulawesi, menembus batas-batas negeri Jawi, Arab dan Eropah, Sultan Sulaiman al-Qanuni sedang menitahkan perebutan kubu Bender di Moldova, persis di sebelah barat Ukraina. Tatkala kubu Bender berjaya ditaklukkan pada 1538, Khalifah kedua Uthmaniyah tersebut memahatkan inskripsi yang melukiskan jangkauan kekuasaannya:

“Akulah Sulaiman, yang namanya disebutkan dalam khutbah di Mekah dan Madinah. Di Baghdad aku adalah Syah, di Byzantium disebut Kaisar, dan di Mesir dijuluki Sultan; yang telah mengirim armada-armada kapalnya ke lautan Eropah, Maghribi dan India. Akulah Sultan yang mengambil mahkota dan takhta Hungary serta memberikan mereka status sebagai abdi yang rendah hati. Voivode (Putera Mahkota) Petru telah mengangkat kepalanya dalam pemberontakan, tetapi kuku kudaku menempatkannya ke debu, dan akulah yang telah membebaskan negeri Moldavia”.[1]

Sultan Sulaiman al-Qanuni tidak bergurau apabila menyebut tentang negeri-negeri yang telah dibebaskan dan dia jangkau. Ketika menyebut India sebagai salah satu negeri yang terjangkau oleh armada Uthmaniyah, Sultan Sulaiman masih mengikuti ingatan kaum Muslim tentang definisi “India” selama ratusan tahun sebelumnya. Ahli Geografi, Muthahhar bin Thahir al-Maqdisi (wafat 355/966) mendokumentasikan cakupan zona India sebagai “kepulauan dan pesisir yang tersambung sampai China” (fa amma jurum al-Hind fa-jaza’ir wa sawahil tattashilu bi-ardhi as-Shin).[2] Maknanya, “India” yang dimaksud Sultan Sulaiman adalah seluruh kepulauan dan pesisir yang ada di Samudera Hindia hingga Laut China Selatan. Negeri Jawi termasuk di antaranya.

Sultan Sulaiman al-Qanuni mengarahkan telunjuknya ke Samudera Hindia sebagai langkah untuk keselamatan perjalanan jemaah haji kaum Muslim India dan Jawi menuju Tanah Suci Haramain dari gangguan Portugis. Banyaknya jumlah kapal perang yang diletakkan Khalifah Uthmaniyah di perairan ini menjadi daya tarik yang sangat menggugah banyak raja dan sultan di seluruh kawasan Samudera Hindia. Di antara mereka adalah penguasa Kesultanan Aceh, Sultan ‘Ala’uddin Ri’ayat Syah al-Qahhar (berkuasa 1537-1571). Beliau dikenal dalam archives Uthmaniyah sebagai penguasa Aceh “yang berkuasa di wilayah India”.[3] Sultan al-Qahhar pertama kali menuliskan suratnya untuk Sultan Sulaiman al-Qanuni di Istanbul. Dalam surat yang bertarikh Jamadil Akhir 973/Januari 1566 itu, Sultan Aceh berterima kasih kepada Khalifah yang sebelum itu telah mengirimkan utusan bernama Lutfi Bey, anggota korps (pertubuhan/organisasi) muteferrika reisleri ke Aceh. Peranannya sangat luar biasa dalam membangkitkan semangat jihad kaum Muslim Aceh untuk melawan Portugis yang bermarkas di Melaka.[4]

Bagi meningkatkan perlawanan, Sultan al-Qahhar mengajukan cadangan jihad kepada Khalifah untuk meningkatkan alat utama sistem senjata (alutsista) Kesultanan Aceh berupa pengiriman kapal perang, pakar meriam, dan konsultan militer. Ketika surat Sultan al-Qahhar sampai di Istanbul, ternyata Sultan Sulaiman al-Qanuni sedang berada di Hungary untuk berjihad. Tak ada yang menyangka bahawa negeri itulah yang menjadi tempat terakhir Sultan Sulaiman melihat alam dunia. Surat Sultan Aceh tak sempat beliau baca. Untungnya, anak almarhum Sultan Sulaiman yang diangkat menjadi Khalifah Uthmaniyah berikutnya, Sultan Salim II, menanggapi surat Sultan Aceh dengan penuh semangat. Dengan bantuan para wazir-nya yang dipimpin Sokollu Mehmed Pasa, Sadrazam Uthmaniyah yang luar biasa, Sultan Salim II memperkenankan permohonan Sultan al-Qahhar. Bala bantuan dan alat perang yang diminta sampai ke Aceh pada tahun 1568 atau 1569.[5] Sehingga ke hari ini kita masih dapat menemui kompleks pemakaman sebahagian tentara Uthmaniyah yang dikirim Sultan Salim II tersebut di Gampong Bitai, Kecamatan Jaya Baru, Kota Banda Aceh.

Menariknya, elemen tentera Uthmaniyah tersebut ternyata tidak berhenti di Aceh sahaja. Banyak dari mereka yang meneruskan langkah perjuangan untuk berjihad di berbagai pulau negeri Jawi. Ada yang pergi ke Demak di Jawa,[6] Pattani di Thailand,[7] bahkan sampai jazirah Maluku dengan Kesultanan Ternate sebagai magnetnya.[8] Semua kawasan Khilafah Uthmaniyah yang sangat luas yang terbentang dari Granada di Andalusia hingga Ternate di Maluku ini terjadi pada abad ke-16 (tahun 1500-an), sebuah abad yang dikenang masyarakat Turkiye kontemporer sebagai “abad kejayaan” (muhtesem yuzyil). Abad ke-16 menyaksikan lahirnya khalifah-khalifah luar biasa dari Bani Uthmaniyah seperti Yavuz Salim I, Sulaiman al-Qanuni dan Salim II. Hal yang sama juga terjadi di negeri Jawi. Pada abad ini banyak kesultanan mulai bangkit dengan figura-figura yang mengagumkan seperti para ulama Wali Songo, Sultan ‘Ala’uddin Ri’ayat Syah al-Qahhar di Aceh, Maulana Hasanuddin di Banten, Ratu Kalinyamat di Jepara, Sultan Trenggana di Demak, Sultan Babullah di Ternate, dan lain-lain.

Catatan Kaki:

1. Makalah disampaikan dalam safari dakwah al-Faqir di Makassar, Palopo, Wotu, Kendari, dan Baubau selama 27 Oktober – 7 November 2022.

2. Sarjana ilmu sejarah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2020); Penulis buku Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda: Riwayat Pan-Islamisme dari Istanbul sampai Batavia 1882-1928 (2021) dan Dafatir Sulthaniyah: Menguak Loyalitas Muslimin Jawi kepada Khilafah Utsmaniyyah (2022); Sutradara dan Script-Writer film dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara I & II.

3. Halil Inalcik, The Ottoman Empire: The Classical Age 1300-1600, (London: Phoenix, 1994), 41.

4. Muthahhar bin Thahir al-Maqdisi, Kitab al-Bad’i wa’t-Tarikh, ed. M. Huart, (Paris, 1907), 62. Dikutip dari SQ. Fatimi, “Two Letters from the Maharaja to the Khalifah: A Study in the Early History of Islam in the East”, Islamic Studies (Islamabad: 1963), 2:1, 123.

5. Anthony Reid, “Rum and Jawa: The Vicissitudes of Documenting a Long-Distance Relationship”, dalam ACS. Peacock dan Annabel Teh Gallop, From Anatolia to Aceh: Ottomans, Turks, and Southeast Asia, (Oxford University Press, 2015), 27.

6. Giancarlo Casale, “His Majesty’s Servant Lutfi: The career of a previously unknown sixteenth-century Ottoman envoy to Sumatra based on an account of his travels from the Topkapi Palace Archives”, Turcica, 37 (2005), 49-56.

7. Ismail Hakki Goksoy, “Ottoman-Aceh relations as documented in Turkish sources”, dalam Michael Feneer, dkk, Mapping the Acehnese Past, (Leiden: KITLV Press, 2011), 78.

8. Kesaksian Mendez Pinto: “Fourteen days after our coming to this town of Japara, the King of Demaa (yakni, Sultan Trenggana) went and imbarqued himself for the kingdom of Passuruan … the King of Zunda (yakni, Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati, raja Islam pertama di Banten), his brother in law who was General of the army, went by land with a great part of the forces … Their platforms fortified with great beams, whereupon they planted divers great pieces of ordnances, amongst the which were eagles and lions of metal, that the Achems and Turks had cast.” Mendez Pinto, The Voyages and Adventures of Ferdinand Mendez Pinto, ed. HC. Gent, (New York, Cornell University Library, 1996), 377-378.

9. “Maka bedil itu pun dititahkan Baginda kepada Datuk Bendahara suruh tuanglah, dan tukangnya orang Rum bernama ‘Abdushshamad. Maka bedil itu pun dituang oranglah dengan sempurnanya di hadapan Kampung Tembaga itulah.” Hikayat Patani: The Story of Patani, ed. A. Teeuw dan DK. Wyatt (The Hague: KITLV, 1970), 77.

10. “The fort in Ternate had been strengthened by Babullah … In the ensuing battle the Spaniards had to contend with some twenty Turkish gunners who ‘used a lot of bombs, grenades, and other instrument of fire.’” Leonard Y. Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period, (Honolulu: University of Hawaii Press, 1993), 137.

Sumber:

MuslimahHTM News

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *