Pertanyaan:
Tsaqofatuna.id – Assalamu ‘alaika syaikhuna yang mulia, semoga Allah senantiasa memelihara dan menjaga Anda.
Saya ingin mengetahui sejauh mana intervensi Penguasa daulah Islamiyah dalam perekonomian secara keseluruhan? Kemudian sejauh mana Penguasa dalam memungut pajak (dan bagaimana pengadaptasian secara fiqhiy untuk pajak secara umum)?
Jawab:
Wa ‘alaikum as-salam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Pertanyaan Anda tentang intervensi negara dalam perekonomian dan tentang pajak
1 – Berkaitan dengan intervensi negara dalam perekonomian, di dalam sistem ekonomi Islam berbagai kewajiban dan hak negara dan kewajiban serta hak masyarakat sudah ditentukan oleh hukum-hukum syara’, semua itu akan mengatur kewenangan pemerintah dan rakyat. Di dalam sistem ekonomi, kepemilikan sangat berpengaruh dari sisi cara-cara kepemilikan dan pembelanjaan … Karena itu, Islam telah membatasi kepemilikan ini, melindunginya dan menjaganya dari segala pelanggaran. Ada kepemilikan individu, kepemilikan negara dan kepemlikan umum dan masing-masing jenis kepemilikan itu tidak melanggar yang lain.
Oleh karena itu, intervensi negara dalam model yang dikenal sekarang, di mana kepemilikan pribadi dikeluarkan dan dijadikan kepemilikan umum atau kepemlikan negara, atau sebaliknya kepemilikan umum dijadikan kepemilikan pribadi seperti pemberian konsesi minyak dan barang tambang kepada swasta baik dalam maupun lua rnegeri … Semua itu tidak boleh di dalam Islam. Akan tetapi masing-masing pada batasan koridor kepemilikannya: individu dalam kepemilikan pribadi mereka, negara dalam kepemilikan negara seperti ghanimah dan kharaj … dan umat dalam kepemilikan umumnya seperti minyak bumi, barang tambang dan sumber energi … Atas dasar itu di dalam Daulah Islamiyah tidak ada fakta intervensi yang dikenal saat ini di dalam sistem ekonomi.
2. Sedangkan pajak maka di dalam Islam tidak ada pajak yang diambil dari masyarakat. Nabi saw dahulu mengatur urusan-urusan rakyat dan tidak terbukti dari beliau saw bahwa beliau memungut pajak atas masyarakat. Tidak diriwayatkan sama sekali bahwa beliau memungut pajak. Ketika beliau mengetahui bahwa orang di perbatasan daulah mengambil pajak atas komoditi yang masuk ke negeri maka beliau melarang hal itu.
Telah diriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir bahwa ia telah mendengar Rasulullah saw bersabda:
«لا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ»
Tidak masuk surga pemungut cukai (HR Ahmad dan dishahihkan oleh al-Hakim)
Shâhib al-maksi adalah orang yang mengambil pajak atas perdagangan … Ini menunjukkan larangan mengambil pajak dengan makna yang diistilahkan barat. Terlebih lagi di dalam hadits Muttafaq ‘alayh dari jalur Abu Bakrah Rasul saw bersabda:
«إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا…»
Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian adalah haram bagi kalian seperti keharaman hari kalian ini, di negeri kalian ini dan di bulan kalian ini …
Dan sabda Rasul saw itu bersifat umum mencakup semua manusia termasuk daulah. Mengambil pajak adalah mengambil harta seorang muslim tanpa keralaan dirinya yang menunjukkan ketidakbolehan memungut pajak itu.
Akan tetapi ada satu kondisi yang disetujui oleh syara’ dan disitu diperbolehkan diambil harta yang dibutuhkan tanpa tambahan (tidak lebih dari jumlah yang dibutuhkan) dan hanya diambil dari orang-orang kaya dari kelebihan harta mereka. Kondisi itu adalah jika ada pembelanjaan yang diwajibkan atas baitul mal dan kaum Muslimin, sementara di baitul mal tidak terdapat harta yang cukup maka diambil harta sesuai dengan kadar pembelanjaan itu dari kelebihan harta orang-orang kaya untuk menutupi kekurangan pembelanjaan tersebut. Adapun jika pembelanjaan itu hanya diwajibkan atas baitul mal dan tidak diwajibkan atas kaum Muslimin, maka tidak diambil harta dari kaum Muslimin untuk menutupi pembelanjaan itu jika harta di baitul mal tidak mencukupi. Akan tetapi untuk menutupi pembelanjaan tersebut dibelanjakan harta dari baitul mal saja.
Misalnya, memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang-orang fakir berupa pangan, papan dan sandang. Ini adalah wajib bagi negara dari harta baitul mal. Demikian juga wajib bagi kaum Muslimin: Rasulullah saw bersabda:
«وَأَيُّمَا أَهْلُ عَرْصَةٍ أَصْبَحَ فِيهِمْ امْرُؤٌ جَائِعٌ فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُمْ ذِمَّةُ اللَّهِ تَعَالَى»
Penduduk negeri manapun yang di tengah mereka ada seorang yang kelaparan maka dzimmah (jaminan) Allah terlepas dari mereka (HR Ahmad dari Ibn Umar)
Maka jika harta di baitul mal tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokok orang-orang fakir, maka diambil pajak dari orang-orang kaya kaum Muslimin untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu sesuai dengan kadar yang dibutuhkan dan tidak lebih.
Contoh lain, jihad adalah fardhu atas baitul mal dan kaum Muslimin berdasarkan firman Allah SWT:
وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Dan berjihadlah di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian (TQS at-Tawbah [9]: 41)
Dan firman Allah SWT:
وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ
Dan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka (TQS an-Nisa’ [4]: 95)
Karena itu, untuk memenuhi kebutuhan jihad diberlakukan ketentuan yang sama.
Begitulah di dalam Islam pajak tidak diambil kecuali pada kondisi yang wajib memenuhi dua syarat:
Pertama, hal itu diwajibkan atas baitul mal dan kaum Muslimin sesuai dengan dalil-dalil syara’ yang sharih.
Kedua, tidak ada di baitul mal harta yang mencukupi untuk kebutuhan itu.
Dalam kondisi ini saja boleh diambil pajak dengan kadar untuk memenuhi kebutuhan tanpa tambahan atau tanpa lebih, diambil dari kelebihan harta orang-orang kaya. Kami katakan dari kelebihan yakni dari kelebihan untuk kebutuhan pangan, papan dan sandang orang kaya itu beserta isterinya, pembantunya, dan apa yang ia kendarai untuk menunaikan kebutuhannya dan semacamnya sesuai kewajaran di masyarakat sebab Allah SWT berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ
Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. (TQS al-Baqarah [2]: 219)
Yakni apa yang dalam membelanjakannya tidak perlu tenaga, dengan makna kelebihan dari kecukupan keperluannya sesuai yang ma’ruf untuk orang semisalnya. Dan Rasul saw bersabda:
«أفضلُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى»
Shadaqah yang paling utama adalah yang dari orang kaya (Muttafaq ‘alayh dari jalur Hakim bin Hizam dan Abu Hurairah)
Dan makna zhahri ghina yakni yang lebih dari kecukupannya dengan ma’ruf.
Ringkasnya, tidak ada pajak di dalam Islam kecuali pada kondisi ini dan sesuai dengan kadarnya tanpa tambahan dan tidak diambil kecuali dari zhahri ghina (oang kaya). Dan itu adalah kondisi yang dalam sejarah Islami sangat jarang terjadi sebab sumber-sumber pemasukan negara yang kontinu yang telah dijelaskan oleh Islam cukup untuk itu. Akan tetapi jika terjadi, maka boleh diambil pajak untuknya sesuai apa yang telah dijelaskan di atas.
Saudaramu
Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
01 Sya’ban 1434
10 Juni 2013