Harta yang Dikuasai Dengan Kekuatan Penguasa

by -4 views

Soal:

Tsaqofatuna.idBismillah ar-rahman ar-rahim.

Assalamu’alaikum wa rahmatullah barakatuhu. Saya memohon kepada Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Kuasa agar menguatkan langkah Anda dan meneguhkan kekuasaan untuk Islam melalui kedua tangan Anda. Amma ba’du, saudaraku yang dimuliakan, saya ajukan beberapa pertanyaan dengan harapan kepada Allah agar menyinari langkah Anda.

Pertanyaan:

Yaitu berkaitan dengan realita harta yang dikuasai secara paksa dan dengan kekuatan penguasa yang dinyatakan di halaman 119. Dan dengan hukum bolehnya pemberian negara untuk harta milik negara kepada individu rakyat,

lalu apakah kerabat penguasa dan pegawai negara diharamkan secara mutlak dari pemberian ini disebabkan kekerabatan itu hingga meskipun mereka termasuk orang yang memerlukan?

Dan jika boleh bagi mereka pemberian negara lalu apa batasan yang jelas antara apa yang boleh dan apa yang tidak boleh?

Jawaban:

Anda bertanya tentang hal berikut di buku al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah:

[Harta yang Dikuasai dengan Paksa dan Kekuatan Penguasa

Yakni harta yang dikuasai oleh penguasa, para wali, para ‘amil atau kerabat mereka dan pegawai negara, dari harta atau tanah negara atau dari harta atau tanah orang-orang melalui penindasan, paksaan, dominasi, dengan kekuatan penguasa dan jabatan. Semua harta yang dikuasai dan semua tanah yang dikuasai dari harta dan tanah-tanah negara atau dari harta dan tanah-tanah orang-orang, yakni melalui salah satu cara ini maka dinilai sebagai perolehan yang haram dan tidak dimiliki, sebab diperoleh dengan cara yang tidak sah. Dan semua penguasaan melalui satu cara di antara cara-cara ini dinilai sebagai kezaliman, dan kezaliman adalah haram, dan itu merupakan kegelapan pada hari kiamat, sebagai mana juga dinilai sebagai ghulul dan ghulul itu di neraka. Dari Nabi saw:

«مَنْ أَخَذَ مِنَ الْأَرْضِ شَيْئاً بِغَيْرِ حَقٍّ، خُسِفَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى سَبْعِ أَرَضِينَ»

“Siapa saja yang mengambil sesuatu tanah tanpa dibenarkan maka dia dibenamkan dengannya pada hari kiamat ke tujuh lapis bumi”.

Dan dalam satu riwayat:

مَنْ أَخَذَ شِبْراً مِنَ الْأَرْضِ ظُلْماً، فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ» رواه الشيخان

“Siapa saja yang mengambil satu jengkal tanah secara zalim maka dia dibenamkan pada hari kiamat dari tujuh bumi” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dan dari Aisyah ra bahwa Nabi saw bersabda:

مَنْ ظَلَمَ شِبْراً مِنَ الأَرْضٍ، طَوَّقَهُ اللهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ» متفق عليه

“Siapa saja yang menzalimi satu jengkal tanah niscaya Allah membenamkannya dari tujuh lapis tanah” (Muttafaq ‘alayh).

Harta dan tanah yang dikuaai tersebut jika berasal dari milik orang-orang, jika diketahui pemiliknya maka dikembalikan kepada mereka, dan jika tidak diketahui pemiliknya maka wajib ditempatkan di Baitul Mal. Adapun jika harta dan tanah itu berasal dari milik negara maka wajib dikembalikan ke Baitul Mal tanpa ada perbedaan pendapat. Sebagaimana Umar bin Abdul Aziz ketika menjabat al-Khilafah mengembalikan semua harta dan tanah yang dikuasai oleh Bani Umayyah melalui kekuatan kekuasaan mereka dari milik orang-orang atau milik negara, dikembalikan ke Baitul Mal kaum Muslim, kecuali yang diketahui pemiliknya maka dikembalikan kepada mereka.

Umar bin Abdul Aziz melucuti Bani Umayyah dari pemberian mereka, jatah mereka dan semua yang mereka kuasai, sebab ia menilai bahwa mereka memilikinya melalui kekutan penguasa Bani Umayyah dan dengan cara yang tidak sah, tidak boleh dimiliki. Umar bin Abdul Aziz memulainya dari dirinya sendiri. Ia melepaskan semua hartanya, kepemilikannya, semua kendaraannya, parfumnya dan perhiasannya, kemudian ia menjualnya dengan harga dua puluh tiga ribu dinar dan ia tempatkan di Baitul Mal] selesai.

Jelas dari teks ini bahwa pembicaraannya adalah tentang harta yang penguasaan atasnya terjadi melalui paksaan, penindaan, dominasi, dengan kekuatan kekuasan dan jabatan, yakni bahwa orang yang memperoleh harta-harta ini tidak lain dia memperolehnya karena dia pemilik kekuatan dan kekuasaan atau karena dia dekat dari pemilik kekuatan dan kekuasaan, yakni mereka adalah person-person yang memperoleh harta-harta orang dan harta-harta negara disebabkan adanya kekuasaan yang membuat mereka menguasai harta-harta ini.

Adapun kerabat penguasa, jika mereka termasuk orang-orang yang memiliki kebutuhan lalu mereka diberi harta untuk memenuhi kebutuhan mereka sebagaimana diberinya selain mereka dari rakyat yang memiliki kebutuhan dan kekerabatan mereka dari pemilik kekuasaan tidak memiliki suatu bantuan atau masuk dalam pemberian mereka harta tanpa hak, saya katakan jika perkaranya demikian …. maka pemberian ini boleh seperti individu-individu rakyat lainnya yang membutuhkan tanpa mereka yakni kerabat itu diutamakan atas selain mereka disebabkan kekerabatan mereka …

Jika ada keadaan yang perkara di situ samar yang mana tidak tampak dengan jelas jika mereka mendapatkan harta dari negara disebabkan kekerabatan atau kedekatan mereka dari para penguasa dan pejabat atau karena mereka memang berhak untuk itu secara syar’iy. Jika hal itu samar maka perkara mereka diajukan ke Qadha’ Mazhâlim agar memutuskan tentang mereka setelah meneliti realita keadaan, dan keputusan Qadha’ Mazhâlim bersifat mengikat bagi penguasa jika memutuskan keharusan pengembalian apa yang dia berikan kepada mereka sebab itu termasuk bab penguasaan dengan paksa dan kekuatan kekuasaan …).

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

7 Muharram 1445 H

25 Juli 2023 M

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *