Duta Dalam Islam

by -6 views

Tsaqofatuna.id Soal:
Assalamu ’alaikum wa rahmatullah barakatuhu. Saya memohon kepada Allah agar menguatkan Anda dan memberi Anda kesehatan selalu dan umur panjang dan mengizinkan Anda menyaksikan kembalinya al-Khilafah dan memimpin kami, amin.

Saya punya pertanyaan terkait draft Konstitusi Hizb. Pada Pasal 7 ayat e dinyatakan: “Negara akan melaksanakan hukum-hukum syariah dan semua perkara syariah, seperti muamalah, sanksi, kesaksian, sistem pemerintahan, sistem ekonomi dan lainnya terhadap Muslim dan non Muslim. Negara juga akan menerapkannya secara sama terhadap semua orang mu’ahad dan musta’min serta semua orang yang hidup di bawah kekuasaan Islam sebagaimana diterapkan terhadap seluruh rakyat, kecuali duta, konsul dan semisalnya karena mereka memiliki kekebalan diplomatik”.

Pertanyaan saya tentang point terkait duta. Realitanya, kadang ada duta yang bersifat temporer yang hanya tinggal sementara waktu kemudian kembali ke negara mereka dan ada duta permanen yang tinggal di dalam wilayah al-Khilafah secara permanen. Apakah pasal ini berlaku terhadap kedua tipe duta tersebut?

Juga, jika salah seorang dari duta itu melakukan tindakan kriminal atau melakukan tindakan ilegal di luar wewenangnya sebagai duta, apakah dia akan diadili dan dihukum oleh al-Khilafah? Atau duta yang temporer dan duta permanen diperlakukan berbeda dalam masalah ini?

Semoga Allah memberi Anda balasan yang lebih baik. Dari Syaifuddin Abdullah

Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu. Semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda atas doa Anda yang baik untuk kami, dan kami mendoakan kebaikan untuk Anda.

1- Berkaitan dengan pertanyaan Anda seputar duta permanen dan dua temporer, maka tidak ada perbedaan dari aspek syar’iy di antara keduanya. Selama seseorang itu berlaku atasnya madlul kata rasûl (duta) maka dia memiliki kekebalan diplomatik selama dia tinggal di daulah al-Khilafah tanpa ada perbedaan … Dahulu pada zaman Nabi saw, para sahabat dan era berikutnya, belum ada duta permanen yang berdiam terus menerus, tetapi yang ada adalah duta-duta yang mereka itu diutus untuk menyampaikan pesan kemudian kembali ke negeri mereka, yakni mereka menurut ungkapan Anda adalah duta temporer …

Kemudian muncullah duta permanen dan duta-duta di dunia akibat kompleksnya hubungan dan perlunya komunikasi kontinyu di antara negara-negara serta adanya rakyat negaranya duta itu, sehingga jadilah negara-negara itu menerima dibukanya kedutaan-kedutaan permanen milik negara-negara lain di dalam wilayahnya dan menerima digunakannya duta permanen yang bermukim di negara-negara itu … Adapun sebelum itu maka dua atau utusan itu pergi sekali untuk menunaikan misi tertentu … Dan inilah yang dipahami dari hadis yang mulia terkait utusan. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra., ia berkata:
«جَاءَ ابْنُ النَّوَّاحَةِ وَابْنُ أُثَالٍ، رَسُولاَ مُسَيْلِمَةَ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ، فَقَالَ لَهُمَا: أَتَشْهَدَانِ أَنِّي رَسُولُ اللَّهِ؟ قَالاَ: نَشْهَدُ أَنَّ مُسَيْلِمَةَ رَسُولُ اللَّهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: آمَنْتُ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ، لَوْ كُنْتُ قَاتِلاً رَسُولاً لَقَتَلْتُكُمَا، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: قَالَ: فَمَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ الرُّسُلَ لاَ تُقْتَلُ»

“Ibnu an-Nawahah dan Ibnu Utsal dua orang utusan Musailamah datang kepada Nabi saw., maka Beliau bersabda kepada keduanya: “apakah kalian bersaksi bahwa aku adalah rasulullah?” Keduanya berkata: “kami bersaksi bahwa Musailamah adalah rasulullah”.

Maka Nabi saw bersabda; “aku beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, seandainya aku boleh membunuh utusan niscaya aku bunuh kaliamn berdua”. Abdullah berkata: “dia berkata: “maka berlaku as-sunnah bahwa para utusan itu tidak boleh dibunuh” (HR Ahmad dan dinilai hasan oleh al-Haytsami).
Jelas dari hadis ini bahwa pembicaraan itu adalah seputar dua orang utusan yang diutus oleh Musailamah al-kadzdzab untuk sekali saja.

2- Adapun terkait permintaan Anda penjelasan seputar hukuman terhadap duta dan utusan maka jawabannya ada di penjelasan Pasal 7 ayat e di Muqaddimah ad-Dustûr, berikut teksnya: [Dan adapun ayat e maka berkaitan dengan penerapan semua hukum Islam, dalilnya adalah apa yang sudah dijelaskan bahwa orang kafir dibebani dengan pokok (al-ushûl) dan juga dibebani dengan cabang (al-furû’) dan dituntut dengan semua hukum Islam.

Dan ini bersifat umum mencakup kafir dzimmi dan selain kafir dzimmi, orang yang hidup di bawah kekuasaan Islam. Semua orang kafir yang masuk ke Dar al-Islam baik mereka dzimmi, mu’ahad atau musta’min, wajib diterapkan atas mereka hukum-hukum Islam, kecuali akidah dan semua perbuatan yang dinilai bagian dari akidah, dan semua perbuatan yang disetujui oleh Rasul saw atasnya. Hanya saja, dikecualikan dari hal itu duta dan orang yang termasuk duta.

Hukum-hukum sanksi tidak diterapkan terhadap mereka. Mereka diberi apa yang disebut kekebalan diplomatik. Hal itu karena apa yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dari Ibnu Mas’ud ra., ia berkata:
«جَاءَ ابْنُ النَّوَّاحَةِ وَابْنُ أُثَالٍ، رَسُولاَ مُسَيْلِمَةَ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ، فَقَالَ لَهُمَا: أَتَشْهَدَانِ أَنِّي رَسُولُ اللَّهِ؟ قَالاَ: نَشْهَدُ أَنَّ مُسَيْلِمَةَ رَسُولُ اللَّهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: آمَنْتُ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ، لَوْ كُنْتُ قَاتِلاً رَسُولاً لَقَتَلْتُكُمَا، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: قَالَ: فَمَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ الرُّسُلَ لاَ تُقْتَلُ»
“Ibnu an-Nawahah dan Ibnu Utsal dua orang utusan Musailamah datang kepada Nabi saw, maka Beliau bersabda kepada keduanya: “apakah kalian bersaksi bahwa aku adalah rasulullah?” Keduanya berkata: “kami bersaksi bahwa Musailamah adalah rasulullah”.

Maka Nabi saw bersabda; “aku beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, seandainya aku boleh membunuh utusan niscaya aku bunuh kaliamn berdua”. Abdullah berkata: “dia berkata: “maka berlaku as-sunnah bahwa para utusan itu tidak boleh dibunuh” (HR Ahmad dan dinilai hasan oleh al-Haytsami).
Hadis ini menunjukkan diharamkannya membunuh duta yang datang dari orang-orang kafir, dan semisal pembunuhan itu adalah seluruh sanksi. Hanya saja, ini untuk orang yang padanya berlaku sifat duta, seperti duta, dan pelaksana tugas dan orang yang sejenisnya. Adapun orang yang padanya tidak berlaku sifat duta seperti konsul, wakil dagang dan semacamnya maka dia tidak memilki kekebalan semisal duta, karena padanya tidak berlaku sifat duta.

Dan dalam hal itu merujuk kepada konvensi (‘urf) internasional sebab itu merupakan lafal istilahi yang dalam mengetahui realitanya merujuk kepada urf dan itu bagian dari bab tahqîq al-manâth, yani mengetahui apakah ini dinilai termasuk duta atau tidak], selesai kutipan dari buku Muqaddimah ad-Dustûr.
Jadi tidak dijatuhkannya hukuman bunuh dan semua hukuman itu berlaku terhadap duta permanen dan duta serta utusan temporer selama realita ar-rasûl (duta/utusan) terpenuhi pada keduanya. Tidak ada perbedaan dalam topik tidak dijatuhkannya hukuman di antara duta permanen dan duta temporer, karena keduanya adalah duta dan terhadapnya berlaku hukum-hukum duta dalam masalah sanksi.

Adapun tentang bagian terakhir dari pertanyaan Anda: “dan apakah jika salah seorang dari duta itu melakukan tindakan kriminal atau melakukan tindakan ilegal di luar wewenangnya sebagai duta, apakah dia akan diadili dan dihukum oleh al-Khilafah?

Atau duta yang temporer dan duta permanen diperlakukan berbeda dalam masalah ini?”. Sungguh kami belum merinci realita sanksi-sanksi yang masuk dalam kekebalan dan sanksi-sanksi yang tidak masuk. Dan kami akan merinci ini dalam peraturan pelaksanaan untuk pasal-pasal konstitusi yang kami mulai, dan kami memohon pertolongan Allah dalam menyempurnakan itu dalam waktu yang tepat, insya’a Allah.

Saya berharap dalam hal itu ada kecukupan, wallâh a’lam wa ahkam.

Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
06 Shafar 1445 H
22 Agustus 2023 M

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *